Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perjuangan Seorang Guru Honorer yang Ikhlas Mengabdi



Dunia pendidikan di Indonesia sangat miris jika kita melihat gaji para guru honorer. Gaji guru honorer masih jauh dari kata layak. Sebutan “pahlawan tanda jasa” memang sangat pantas disematkan di pundak para sang guru. Mereka mengabdi benar-benar untuk negeri bukan semata mementingkan kepentingan pribadi. Kisah seorang guru yang berasal dari Sekotong, Lombok Barat ini, merupakan potret pendidikan di Indonesia. Khususnya nasip para guru honorer yang digaji dengan nominal yang tak pantas bila dibandingkan dengan perjuangan dan pengorbanan mereka.


Seandainya para guru honorer mogok mengajar lantaran “upah” yang tidak manusiawi, entah apa jadinya pendidikan di negeri ini. Mashur, salah seorang guru honorer di sekolah terpencil bisa jadi mewakili kisah para guru honorer di belahan Nusantara lainnya.



 SEKOLAH GILI : Mashur berdiri di depan papan nama sekolah di SD-SMPN satu Atap 2 Sekotong di gili, kecematan sekotong, kebupaten lombok barat 



HARI belum zuhur, tapi sekolah itu tampak lengang. Siswa lebih awal dipulangkan. Tak seperti sekolah-sekolah di daratan Pulau Lombok, pukul 11.00 Wita aktivitas belajar mengajar masih padat. Siswa masih berkeliaran di halaman sekolah lengkap dengan seragam pramuka mereka.


Tapi, Sabtu itu (23/1) SDN-SMPN Satu Atap 2 Sekotong di Gili Gede, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat sudah sepi. Hari Sabtu siswa memang lebih awal dipulangkan. Selain itu, jika lepas zuhur, jika hujan turun disertai angin yang berhembus dari timur, para guru di sekolah itu butuh nyali untuk menyeberangi lautan.


Sebagai gambaran, Lombok Post menumpang perahu berkapasitas 15 orang, tapi hanya diisi 9 orang. Berulang kali penumpang menarik napas panjang, sesekali berteriak melihat ombak menggulung. Ombak di perairan itu sepertinya marah. Air membasahi pakaian penumpang. Air masuk dalam perahu. Maka, kepulangan lebih awal para guru di SDN-SMPN Satu Atap 2 Sekotong hari itu lumrah saja.


“Kalau angin timur (Angin yang berhembus dari timur, red) ombak memang besar,’’ kata Mashur, satu-satunya guru yang tinggal di Gili Gede. Dia memang putra asli pulau itu.


Dermaga umum penyeberangan ke Gili Gede ada di Tembowong. Hanya butuh waktu 15 menit. Tapi sekolah di Gili Gede berada di bagian lain pulau itu. Jadi perahu harus mengitari pulau itu terlebih dahulu. Dengan menaiki perahu nelayan bermesin 25 PK, butuh waktu 30 menit sampai ke sekolah. Sekolah itu persis berada di depan pesisir pantai.


Mashur adalah satu di antara 12 guru honor di sekolah itu. Guru negeri hanya 4 orang. Itu termasuk kepala sekolah. Jumlah siswa untuk SD 157 orang, sementara SMP 37 orang. Mashur mengajar di SMP.


Jumlah siswa SMP memang sedikit. Tapi, sekolah SMP berbeda dengan SD. Sebanyak-banyak murid SD, mereka tetap enam kelas. Satu kelas diampu satu orang guru sebagai wali kelas. Sementara SMP, berapapun jumlah siswanya tetap membutuhkan guru mata pelajaran. Dan inilah yang menjadi masalah di Gili Gede. Tak semua mata pelajaran memiliki guru.


Mashur yang jebolan sarjana pendidikan Pendidikan Kewarganegaraan harus mengajar mata pelajaran lainnya. Dia juga mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Selesai mengajar IPA, yang jauh dari pendidikan formalnya, Mashur pindah ke kelas lainnya mengajar Pendidikan Agama Islam (PAI).


Hari lain, sebelum masuk kelas mengajar satu di antara tiga mata pelajaran itu, lelaki kelahiran 1979 ini membimbing siswa untuk pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes). Pelajaran olahraga. Jadi dalam seminggu tak ada waktu lowong Mashur. Dia mengajar penuh empat mata pelajaran.


Mashur sadar mengajar empat mata pelajaran tidak akan maksimal. Apalagi dia lulusan Pendidikan Kewarganegaraan yang harus mengajar IPA. Bidang yang sangat jauh. Tapi mau tidak mau Mashur “terpaksa” mengajar pelajaran lain.


Dia tidak sendiri. Guru lainnya, yang juga berstatus honor, Nasri Rahman juga mengajar ganda. Selain mengajar Bahasa Inggris, guru kelahiran 1986 itu mengajar juga Teknologi Informatika dan Komputer (TIK).


Meminta guru SD mengajar ke SMP juga tidak memungkinkan. Para guru di SD sudah pas jumlahnya. Mereka juga tidak kalah padat mengajar di kelas. Tapi karena kondisi yang memaksa, Sahabudin Muzakkir, guru SD mengajar Matematika di SMP.


“Kalau tidak merangkap begitu kasihan siswa SMP. Mereka tidak bisa belajar,’’ kata Mashur.


Seluruh guru mata pelajaran di SMP berstatus honorer. Hanya kepala sekolah yang merangkap kepala SD yang PNS. Dengan kesibukan mengurus dua sekolah, berat rasanya meminta kepala sekolah untuk mengajar penuh di SMP yang kekurangan guru. Mengangkat guru honor adalah pilihan. Walaupun di belakangnya masalah muncul.


Dengan siswa yang berjumlah 37 orang, dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diterima begitu kecil. Sementara meminta sumbangan wali murid mustahil dilakukan. Anak-anak itu mau bersekolah saja Mashur bersyukur.


Hampir semua siswa adalah anak nelayan miskin. Membebani mereka dengan berbagai “sumbangan” yang menjadi “tradisi” sekolah-sekolah di kota, bisa-bisa membuat mereka enggan bersekolah.


Dengan kondisi keuangan sekolah yang pas-pasan, dan aturan terbaru dana BOS maksimal 15 persen boleh dipakai untuk gaji, maka guru-guru honorer di SMP di Gili Gede harus rela digaji rendah. Dalam sebulan, Mashur, yang mengajar empat mata pelajaran digaji Rp 62 ribu per bulan. Uang itu diberikan tiap tri wulan.


“Kalau mengandalkan honor guru tidak bisa makan. Apa yang bisa dibeli Rp 62 ribu,’’ kata Mashur yang memiliki dua orang anak itu.


Untuk menyiasati kebutuhan rumah tangga, Mashur juga bekerja sebagai staf desa. Dan semua guru honor di sekolah itu memiliki pekerjaan lain. Yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai pekerjaan utama. Mengajar dengan honor Rp 62 ribu per bulan dianggap mereka sebagai pengabdian. Mashur dan beberapa guru honorer lahir dan besar di Gili Gede.


Jika Mashur dan guru honor lainnya berhenti mengajar lantaran upah yang tidak manusiawi itu, mungkin saja sekolah itu (SMP) bubar. Para guru honorer dari luar berpikir berpuluh-puluh kali mengabdi di sekolah itu. Bukan sekadar gaji yang jauh dibawah gaji “tukang bikin kopi” di kantor-kantor pemerintah. Tapi risiko dihantam ombak, dan biaya perjalanan yang tidak cukup ditutupi dengan upah jadi honorer.


Pemerintah Lombok Barat tidak menyediakan perahu bagi guru yang mengajar di Gili Gede. Berbeda misalnya dengan perhatian pemerintah Lombok Timur yang menyediakan perahu bagi guru mereka yang mengajar di Gili Beleq. Perahu itu bisa diibaratnya sebagai “perahu dinas”.


Guru di Gili Gede menumpang di perahu nelayan. Mereka sudah memiliki langganan. Tidak gratis. Mereka juga sangat tergantung jadwal beroperasinya perahu nelayan itu. Tapi, kata Mashur, para guru di Gili Gede selalu datang pagi.


“Ada guru di sini tinggal di Cakranegara Mataram. Ada juga tinggal di Gerung, tapi selalu datang pagi,’’ kata Mashur.


Menurut dia, pemerintah semestinya punya kebijakan khusus. Guru negeri di Gili Gede, diberikan tunjangan khusus. Guru honor diberikan honor khusus. Sebab, mengajar di tempat terpencil itu butuh pengorbanan lebih besar dibandingkan mengajar di pusat kota. Dulu, ada program guru terpencil. Tapi belakangan program itu dihapus.


“Saya berharap sekali para penentu kebijakan bisa berkunjung ke sekolah ini biar tahu bagaimana perjuangan para guru,’’ katanya.




Sumber : Lombokpost.net